Kamis, 23 April 2009

[Edisi 5] Sehat Jiwa, Perlu Bagi Pemimpin

Negara dunia ketiga merupakan negara yang srategis untuk diombang-ambingkan bak buih di lautan. Jika dalam Islam bisa disebut mualaf. Yakni, orang yang baru mengetahui tentang Islam. Yang mana belum mempunyai benteng yang kokoh sehingga dapat dimungkinkan terjerumus dalam jurang kesesatan. Perekonomian yang sedang berkembang harus menghadapi globalisasi yang tidak dapat dihentikan. Ditambah dengan sistem perpolitikan yang tidak dapat lepas dari cengkraman pemodal. Hal tersebut telah menjadi keuntungan yang tidak sedikit bagi kaum kapital.

Dalam permasalahan di atas, bukan­nya orang-orang Indonesia bodoh sehingga para pemimpin tidak dapat mensejahterakan rakyatnya. Yang menjadi kendala adalah mereka telah terikat kontrak dengan pemodal. Sehingga mengakibatkan adanya hubungan timbal balik yang menghambat jalannya pembangunan. Atau dengan kata lain, mereka yang memimpin masih kekurangan mental untuk menyetir bangsa yang Bhineka Tunggal Ika ini.
Kondisi tersebut, sedikit banyak telah menjadi keuntungan tersendiri bagi seorang pemimpin, bak ketiban durian. Sehingga ia sendiko dawuh saja, karena telah dicekoki sejumlah materi atau kedudukan strategis. Istilah yang mengatakan bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan nampaknya telah luntur, bahkan hilang dari peredaran masyarakat yang menjunjung tinggi demokrasi ini. Karena mereka yang memegang kekuasaan telah menjadi alat, yang mau tidak mau harus patuh kepada para pemodal, bukan kepada rakyat.
Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan yang dapat dijadikan kekuatan (knowledge is power) untuk menguasai dunia. Maka penjajahan atas suatu negara telah berkembang menjadi neokolonialisme. Di antaranya dengan menggunakan sistem dependensia. Secara perlahan negara yang telah dirasuki sistem tersebut akan beralih kekuasa­annya menjadi negara semi kolonial,yakni merdeka secara pengakuan tetapi tidak secara ekonomi politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar